Jakarta: Pemerintah berupaya mengantisipasi tantangan persoalan air yang semakin kompleks akibat cuaca ekstrem dan perubahan iklim. Hal tersebut disampaikan oleh Deputi Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Sigit Reliantoro, dalam acara Forum Air Indonesia yang digelar KLH bersama salah satu saluran televisi nasional, di Jakarta, Rabu (26/3/2025) petang.
Sigit mengatakan, terdapat disparitas antara perkotaan dan pedesaan dalam akses air bersih. Di sisi lain, perubahan iklim telah mengubah pola intensitas hujan secara drastis.
“Baru-baru ini, Bekasi dan Jakarta dilanda banjir akibat curah hujan ekstrem 115 milimeter (mm). Padahal, curah hujan 100 mm saja sudah masuk kategori ekstrem,” ujarnya.
Menurut Sigit, aktivitas manusia yang mengganggu tutupan lahan memperburuk kondisi ini. Catatan KLH menunjukkan tutupan vegetasi hutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Bekasi hanya tersisa 3,53 persen, sementara di hulu DAS Ciliwung hanya 10–11 persen.
“Saat hujan deras, sekitar 80 persen air menjadi limpasan, sehingga meningkatkan risiko banjir,” ucapnya.
Ia menambahkan, ketersediaan air di Indonesia tidak merata. Jawa dan Bali-Nusa Tenggara masuk kategori kritis, dengan defisit air di Jawa mencapai 118 miliar meter kubik per tahun. Sebaliknya, Sumatra dan Kalimantan masih memiliki cadangan air yang cukup.
Dari sisi kualitas, pemantauan terhadap 2.195 sungai menunjukkan hanya 2,19 persen titik yang memenuhi baku mutu air. Sedangkan 96 persen sisanya tercemar ringan, dan sebagian kecil tercemar berat.
“Pencemaran ini menyulitkan penyediaan air bersih. Karena, membutuhkan teknologi pengolahan yang lebih canggih dan berbiaya tinggi,” kata Sigit.
Sementara, Wakil Menteri Pekerjaan Umum (PU) Diana Kusumastuti mengungkapkan, pihaknya berupaya meningkatkan kapasitas tampungan air. Terutama, melalui konservasi dan revitalisasi sumber air seperti danau, situ, dan air tanah.
“Kami juga meningkatkan efisiensi penggunaan air untuk pertanian dengan metode padi hemat air. Metode ini mampu mengurangi pemakaian air hingga 30 persen, serta meningkatkan produktivitas hingga dua ton per hektare,” ujarnya.
Diana juga menyoroti ketimpangan distribusi air di berbagai wilayah, terutama di Jawa dan Bali. Salah satu solusi yang didorong adalah pemerataan distribusi penduduk ke luar Jawa. “Kami juga mendukung pengembangan peternakan di luar Jawa dan Bali untuk mengurangi beban kebutuhan air,” kata dia.
Dalam hal penyediaan air minum, Wamen PU menyebut cakupan akses air minum yang aman baru mencapai 43 persen, sementara yang memenuhi standar hanya 40,2 persen. “Kami berupaya meningkatkan sistem penyediaan air minum yang terintegrasi dengan sanitasi,” ujarnya.
Sedangkan, Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Isu Air, Retno Marsudi menuturkan, gletser sebagai sumber utama air tawar telah kehilangan 900 gigaton air dalam 50 tahun terakhir. “Kondisi ini berkontribusi terhadap kenaikan permukaan air laut hingga 20 cm sejak tahun 1900,” katanya.
Retno juga mencatat sekitar 32 juta orang terdampak banjir, sementara 680 juta orang di pesisir terancam oleh naiknya air laut. Selain itu, 29 juta orang mengalami dampak kekeringan, dan pada 2050 diperkirakan tiga perempat wilayah dunia akan menghadapi krisis air.
“Pencemaran juga menjadi ancaman serius. Sebanyak tiga miliar orang hidup dengan risiko air terkontaminasi,” ujarnya menambahkan.
Menurut Retno, krisis air ini membutuhkan kerja sama global antara pemerintah, sektor swasta, dan pemangku kepentingan lainnya. “Air adalah sumber kehidupan dan elemen utama dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan,” kata mantan Menteri Luar Negeri RI dua periode ini.