Jakarta – Sengketa yang muncul terkait pertanahan masih sering terjadi. Salah satunya pengakuan tentang tanah ulayat masyarakat hukum adat atau lebih populer dengan nama ‘tanah adat’.
Persoalan tanah adat ini tidak hanya ada di Kalimantan atau Papua, tetapi juga sering terjadi di banyak wilayah. Lantas, apa yang dimaksud dengan tanah ulayat atau tanah adat?
Apakah ada peraturan yang mengenai tanah adat? Siapa yang berwenang menetapkan suatu bidang tanah masuk dalam kategori tanah adat?
Pertanyaan lainnya bagaimana status hukumnya? Bila ada tanah yang telah dimiliki oleh perseorangan atau badan hukum dengan suatu hak yakni sertifikat tanah, berada di atas tanah adat tersebut?
Indra Gunawan, ST.MH,QRMP, Kepala Kantor Pertanahan Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, menjelaskan pengakuan Hak Ulayat pada dasarnya termaktub dalam Pasal 33 ayat (3), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945). Bagaimana bunyinya?
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Pengakuan hak ulayat juga terdapat pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pun menyatakan:
“Hak menguasai dari negara tersebut pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah.“
Sedangkan Pasal 3 UUPA itu menyatakan,
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”
*Penegasan Status dan Hak
Dalam artikel ‘Pemerintah Sederhanakan Ketentuan Kepemilikan Hak Ulayat untuk Masyarakat Adat’, prosedur keseluruhan untuk menetapkan komunitas hukum adat dan hak atas tanah ulayat, dilaksanakan sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014. Isinya tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (Permendagri 52/2014).
Dalam peraturan tersebut, digunakan istilah ‘wilayah adat’. Apa yang dimaksud dengan wilayah adat?
Yang dimaksud wilayah adat adalah tanah adat yang berupa tanah, air, dan atau perairan beserta sumber daya alam yang ada di atasnya dengan batas-batas tertentu, dimiliki, dimanfaatkan dan dilestarikan secara turun-temurun dan secara berkelanjutan. Ini untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang diperoleh melalui pewarisan dari leluhur mereka, atau gugatan kepemilikan berupa tanah ulayat atau hutan adat.
Pengakuan dan pelindungan masyarakat hukum adat dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu:
– Identifikasi masyarakat hukum adat
– Verifikasi dan validasi masyarakat hukum adat
– Penetapan masyarakat hukum adat.
Pasal 5 Permendagri 52/2014 lebih lanjut berbunyi :
“Panitia masyarakat hukum adat kabupaten/kota yang dibentuk untuk melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, menyampaikan rekomendasi kepada bupati/walikota berdasarkan hasil verifikasi dan validasi.”
“Bupati/walikota melakukan penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat berdasarkan rekomendasi panitia masyarakat hukum adat dengan keputusan kepala daerah.”
Bahwa dengan demikian agar tanah ulayat atau adat dapat diakui dan dilindungi, masyarakat hukum adat terkait harus terlebih dahulu diakui dan ditetapkan bupati/walikota. Baru kemudian dilakukan penatausahaan tanah ulayat, sehingga tanah ulayat dapat didaftarkan.
Di tahun 2024, sesunguhnya sudah ada aturan hukum terkait penyelengaraan dan pendaftaran tanah hak ulayat masyarakat adat. Hukum itu berupa Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2024 Tentang Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Adat.
* Peraturan Menteri ATR/BPN itu menerangkan sebagai berikut:
“Hak Ulayat atau yang serupa itu dari Masyarakat Hukum Adat yang selanjutnya disebut Hak Ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.”
Jadi secara ringkas apa itu arti/definisi dari tanah ulayat atau tanah masyarakat hukum adat?
Berdasarkan ketentuan pasal 1 ayat (4) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2024, mengenai Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Adat menyatakan:
“Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat atau yang disebut dengan nama lain, yang selanjutnya disebut Tanah Ulayat adalah tanah yang berada di wilayah penguasaan masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada dan tidak dilekati dengan sesuatu hak atas tanah.”
* Lantas bagaimana pelaksanaan tanah ulayat?
Pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum adat disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2024, mengenai Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Adat.
* Pasal itu menyatakan,
“Hak Ulayat dilaksanakan sepanjang pada kenyataannya masih ada menurut ketentuan hukum adat yang berlaku oleh masyarakat hukum adat.”
Lantas, bagaimana status hukum tanah yang dimiliki perorangan atau badan hukum dan sudah memiliki sesuatu hak berupa sertifikat tanah, tetapi diklaim tanah itu adalah tanah adat?
Jawabannya bisa melihat ketentuan hukum dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2024, mengenai Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Adat.
– Bunyi dari pasal itu adalah,
Pelaksanaan Hak Ulayat oleh masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), tidak dilakukan dalam hal bidang tanah:
– Sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah
– Merupakan bidang tanah yang telah digunakan sebagai fasilitas umum/fasilitas sosial
– Merupakan bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang berlaku; dan/atau
– Tanah swapraja dan tanah bekas swapraja yang telah dihapuskan oleh Ketentuan Konversi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Dengan demikian bagi masyarakat yang telah memiliki sertifikat atas tanah, negara menjamin hak kebendaannya di mata hukum. Maka, masyarakat tidak perlu khawatir atas status hukum yang dimilikinya.
Sebab, keberadaan hak atas tanah ulayat/adat sudah diakui keberadaannya, meski memang ada kriteria dan persyaratan yang harus dipenuhi. Kalau semua sudah memenuhi kriteria dan persyaratannya, tanah itu bisa diakui atau ditetapkan sebagai tanah ulayat/adat (**)